Senin, 30 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PRA SEKOLAH

A. Anak Pra Sekolah 1. Karakteristik Anak Pra Sekolah (3-6 tahun) Kita akan lebih mengenal anak jika kita melihat karakteristik anak tersebut. Anak yang dikategorikan anak usia pra sekolah adalah anak usia 3-6 tahun, seorang ahli psikologi Hurlock mengatakan bahwa masa usia pra sekolah adalah masa emas (the golden age). Di usia ini anak mengalami perubahan baik fisik dan mental dengan berkembangnya konsep diri, munculnya egosentris, rasa ingin tahu yang tinggi, imajinasi yang tinggi, belajar menimbang rasa, dan mengatur lingkungannya. Namun, anak juga dapat berperilaku buruk dengan berbohong, mencuri, bermain curang, gagap, tidak mau pergi ke sekolah dan takut akan monster atau hantu. Hal inilah yang membuat anak sulit berpisah dengan orangtua sehingga saat anak dirawat di rumah sakit ia akan merasa cemas akan prosedur rumah sakit yang tidak dipahaminya. Cemas adalah suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Tekanan akibat mempersepsikan sakit sebagai suatu hukuman untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan tentang dunia di sekitar mereka. Anak mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan temannya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga membuat mereka harus pergi ke rumah sakit menjalani prosedur pengobatan. Untuk itu peran perawat sangat dibutuhkan dalam menjelaskan dan memberi informasi pada keluarga dan anak (Supartini, 2004). 2. Karakteristik Perkembangan Respon Anak Pra Sekolah terhadap Nyeri a. Menangis keras, berteriak. b. Ekspresi verbal seperti ”aduh”, ”auw”, ”sakit”. c. Memukul-mukulkan lengan dan kaki. d. Berusaha mendorong stimulus menjauh sebelum nyeri terjadi. e. Tidak kooperatif; memerlukan restrein fisik. f. Meminta agar prosedur dihentikan. g. Bergelayut pada orang tua, perawat atau orang bermakna lainnya. h. Meminta dukungan emosional, seperti pelukan atau bentuk lain kenyamanan fisik. i. Dapat menjadi gelisah dan peka terhadap nyeri yang berkelanjutan. j. Semua perilaku ini dapat terlihat dalam antisipasi prosedur nyeri yang aktual (Wong, 2009). B. Konsep Hospitalisasi 1. Defenisi Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, dan rasa bersalah (Wong, 2009). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan. Kekhawatiran akan mutilasi memuncak selama periode usia ini. Kehilangan bagian tubuh merupakan suatu ancaman, namun ketakutan anak laki-laki prasekolah akan pengebirian pemahaman mereka tentang tindakan prosedur medis atau bedah yang berhubungan dengan area genitalia, seperti sirkumsisi, perbaikan hipospadia atau epispadia, sistoskopi, atau kateterisasi. Pemahaman mereka yang terbatas tentang fungsi tubuh juga meningkatkan kesulitan mereka dalam memahami bagaimana atau mengapa anggota tubuh “diperbaiki”. Sebagai contoh, mengatakan kepada anak pra sekolah bahwa tonsil mereka akan diangkat dapat diinterpretasikan dengan “mengambil suara mereka”, atau penis mereka “diperbaiki” dapat dipahami dengan memotongnya. Kata-kata seperti “mewarnai”, “memotong”, atau “mengambil” (misalnya mengambil darah) dapat dipahami secara literal dan dapat menyebabkan kebingungan dan ketakutan (Wong, 2009). 2. Reaksi dan Stresor terhadap Hospitalisasi Reaksi anak terhadap stress hospitalisi dipengaruhi oleh pengalaman tentang sakit, perkembangan usia, perpisahan dengan orang tua/teman/dukungan sistem pelayanan, kemampuan koping dan keseriusan penyakitnya.(Wong, 2009). a. Stresor hospitalisasi Menurut Wong (2009), stresor hospitalisasi adalah 1) perpisahan, 2) kehilangan kontrol (pembatasan aktivitas), 3) perlukaan tubuh dan nyeri. b. Reaksi anak terhadap stresor hospitalisasi 1) Reaksi terhadap perpisahan Anak pra sekolah telah dapat menerima perpisahan dengan orang tua dan anak juga membentuk rasa percaya pada orang lain. Walaupun demikian anak tetap membutuhkan perlindungan dari keluarganya. Akibat perpisahan akan menimbulkan reaksi seperti menolak makan, menangis pelan-pelan sering bertanya kapan orang tuanya berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktivitas sehari-hari, dan membanting mainan. 2) Reaksi terhadap kehilangan kontrol (pembatasan aktivitas) Anak pra sekolah dengan pembatasan aktivitas fisik pada ektrimitas, pengurangan rutinitas kegiatan anak akan menimbulkan ketergantungan pada orang tuanya. Reaksi anak prasekolah adalah merasa frustasi, marah dan depresi karena pembatasan aktivitas fisik. 3) Reaksi anak terhadap perlukaan tubuh dan nyeri Anak pra sekolah memberikan respon lebih baik terhadap intervensi yang memerlukan persiapan seperti penjelasan dan pengalihan perhatian dari pada anak-anak yang lebih muda. Reaksi terhadap perlukaan tubuh dan nyeri adalah agresi fisik dan verbal yang lebih spesifik dan langsung pada tujuan yakni mendorong orang yang melukai mereka. Mereka mencoba menyendiri di tempat yang aman, bahkan berpikir untuk mencoba melarikan diri, mengunakan ekspresi verbal untuk memaki orang yang melukai misalnya “keluar kamu dari sini” atau “aku benci kamu”, bersikap cengeng ingin selalu digendong dan menolak kesendirian. 3. Intervensi Keperawatan dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi Perawat didefinisikan sebagai orang yang karena pendidikannya dan kemampuannya, mengobservasi, mengintreprestasikan serta menilai perawatan dan pengobatan yang tidak nyaman serta bertujuan mengurangi status keadaan tidak nyaman juga bertujuan mengurangi status keadaan tidak sehat pada klien serta membantu memperoleh tingkat yang sepadan dengan kemampuannya (Wong, 2009). Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya meminimalkan stresor atau penyebab stres akibat hospitalisasi, sebagai berikut : a. Meminimalkan dampak perpisahan : 1) Rooming in yaitu orang tua dan anak tinggal bersama selama 24 jam, sehingga orang tua dapat selalu kontak dengan anak, jika tidak bisa sebaiknya orang tua dapat melihat anaknya setiap saat untuk mempertahankan kontak/komunikasi antara orang tua dan anak. Partisipasi orang tua pada saat menunggu anaknya diharapkan dapat merawat anak sakit terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan misalnya memberikan kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan makanan pada anak atau memandikan anak. 2) Memodifikasi ruang perawatan dengan cara membuat ruangan seperti situasi di rumah dengan mengatur dekorasi dinding dengan memakai poster/kartu gambar sehingga anak merasa aman jika berada di ruang tersebut. b. Mencegah kehilangan kontrol : 1) Hindarkan pembatasan fisik/imobilisasi pada ekstrimitas untuk mempertahankan aliran infus dapat dicegah jika anak kooperatif. 2) Bagi anak yang diisolasi dilakukan manipulasi lingkungan untuk meningkatkan kebebasan sensori misalnya menempatkan tempat tidur anak dekat dengan pintu atau jendela serta memberikan musik. 3) Untuk mencegah adanya perubahan dalam kegiatan rutinitas akibat dari pembatasan aktivitas fisik seperti berpakaian, mandi, makan, kencing, berak dan interaksi sosial dapat dilakukan dengan cara pembuatan jadwal kegiatan tentang prosedur terapi, pengobatan, bermain dan menonton tv. 4) Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan keperawatan. c. Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri: 1) Mempersiapkan psikologis anak untuk tindakan prosedur yang menimbulakan rasa nyeri. Persiapan anak terhadap prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah penting untuk mengurangi ketakutan. Perawat dapat menjelaskan apa yang akan dilakukan serta dukungan dari keluarga. 2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak, misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton video kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan dilakukan pada anak. 3) Manipulasi prosedur juga dapat mengurangi ketakutan akibat perlukaan tubuh, misalnya dengan cara jika anak takut diukur melalui anus, maka dapat dilakukan melalui ketiak/axilla, disamping itu melakukan permainan untuk mengurangi ketakutan anak sebelum diberikan tindakan keperawatan. 4) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya. Dalam kondisi ini, tawarkan pada anak dan orang tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur tersebut dilakukan. 5) Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan. 6) Pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh hari sebelum apabila memungkinkan. Misalnya, dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar, atau menonton film video yang menggambarkan kegiatan operasi tersebut. Tentunya terlebih dahulu perlu dilakukan pengkajian yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orang tua untuk menerima informasi ini dengan terbuka. Lakukan pula latihan relaksasi pada fase sebelum operasi sebagai persiapan untuk perawatan pascaoperasi (Supartini, 2004). 4. Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi a. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi kesempatan pada orang tua mempelajari tumbuh-kembang anak dan reaksi anak terhadap stresor yang dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit. b. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu, perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan kapasitas belajarnya. c. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar (pra sekolah) dan bukan bayi. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan pujian atas kemampuan anak dan orang tua, dan dorong terus untuk meningkatkannya. d. Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan padanya untuk saling mengenal dan membagi pengalamannya. Demikian juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan anak mempunyai kelompok sosial yang baru. 5. Memberikan Dukungan pada Anggota Keluarga Lain a. Berikan dukungan kepada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di rumah sakit. b. Apabila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerlukan bantuan ahli. c. Beri dukungan kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai-nilai yang diyakininya. d. Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat maupun saudara kandungnya. 6. Mempersiapkan Anak untuk Mendapat Perawatan di Rumah Sakit a. Pada tahap sebelum masuk di rumah sakit dilakukan : 1) Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit dengan peralatan yang diperlukan. 2) Apabila anak harus dirawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat diorientasikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan rumah sakit. b. Pada hari pertama dirawat lakukan tindakan : 1) Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya. 2) Orientasikan anak dan orang tua pada ruang rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat digunakan. 3) Kenalkan dengan pasien anak lain yang menjadi teman sekamarnya. 4) Berikan identitas pada anak misalnya pada papan nama anak . 5) Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang akan diikuti. 6) Laksanakan pengkajian riwayat keperawatan. 7) Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang diprogramkan (Supartini, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar